Kamis, 29 Maret 2012

Mengingat Kematian


Mengingat Kematian

 “Orang-orang yang paling banyak mengingat kematian dan mereka yang paling banyak mempersiapkan diri untuknya. Merekalah itulah orang yang paling pandai, di mana mereka pergi dengan kehormatan dunia dan kemuliaan akhirat.
–Muhammad saw.
Suatu ketika Hasan al-Bashri diajak oleh perdana Menteri Bizantium ke sebuah padang pasir. Sesampainya di tempat tujuan, Hasan melihat sebuah tenda yang terbuat dari brokat Bizantium, diikat dengan tali sutera dan dipancang dengan tiang emas di atas tanah. Hasan berdiri di kejauhan. Tak berapa lama kemudian, secara bergantian muncullah sepasukan tentara perkasa dengan perlengkapan perang yang sempurna, para filosof dan cerdik pandai yang hampir 400 orang, 300 orang tua yang arif bijaksana dan berjanggut putih, dan lebih dari 200 gadis-gadis perawan cantik masing-masing mengusung nampan penuh dengan emas, perak dan batu permata. Mereka lalu mengelilingi tenda itu, menggumamkan beberapa patah kata kemudian pergi.
Hasan sangat heran menyaksikan kejadian-kejadian itu. Ketika meninggalkan tempat itu Hasan bertanya kepada perdana menteri. Si menteri menjawab bahwa dahulu Kaisar mempunyai seorang putra mahkota yang tampan, menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan tak terkalahkan dalam arena kegagahperkasaan. Kaisar dan hampir seluruh kerajaan sangat sayang pada puteranya itu. Pada suatu hari tanpa terduga pangeran jatuh sakit. Semua tabib paling pandai diperintahkan untuk mengobati tapi mereka tak mampu menyembuhkannya. Akhirnya putera mahkota itu meninggal dunia dan dikuburkan di tenda tersebut. Setiap tahun orang-orang berziarah ke kuburannya. Sepasukan tentara yang mula-mula mengelilingi tenda tersebut berkata, “Wahai putera mahkota, seandainya malapetaka yang menimpamu ini terjadi di medan pertempuran, kami semua akan mengorbankan jiwa raga untuk menyelamatkanmu. Tetapi malapetaka yang menimpamu ini datang dari Dia yang tak sanggup kami perangi dan tak dapat kami tantang.” Setelah berucap seperti itu mereka berlalu dari tempat itu.
Kemudian tibalah giliran para filosof dan cerdik pandai. Mereka berkata, “Malapetaka yang menimpamu ini datang dari Dia yang tidak dapat kami lawan dengan ilmu pengetahuan, filsafat dan tipu muslihat. Karena semua filosof di atas bumi ini tidak berdaya menghadapi-Nya dan semua cerdik pandai hanya orang-orang dungu di hadapan-Nya. Jika tidak demikian halnya, kami telah berusaha dengan mengajukan dalih-dalih yang tak dapat dibantah oleh siapapun di alam semesta ini.” Setelah berucap demikian merekapun berlalu dari tempat tersebut.
Berikutnya para orang tua yang mulia tampil seraya berkata, “Wahai putera mahkota, seandainya malapetka yang menimpamu ini dapat dicegah oleh campur tangan orang-orang tua, niscaya kami telah mencegahnya dengan doa-doa kami yang rendah hati ini, dan pastilah kami tidak akan meninggalkan engkau seorang diri di tempat ini. Tetapi malapetaka yang ditimpakan kepadamu datang dari Dia yang sedikit pun tak dapat dicegah oleh campur tangan manusia-manusia lemah.” Setelah kata-kata ini mereka ucapkan merekapun berlalu dari tempat itu.
Kemudian gadis-gadis cantik dengan nampan-nampan berisi emas dan batu permata datang menghampiri, mengelilingi tenda itu dan berkata, “Wahai putera Kaisar, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini bisa ditebus dengan kekayaan dan kecantikan, niscaya kami merelakan diri dan harta kami yang banyak ini untuk menebusmu dan tidak kami tinggalkan engkau di tempat ini. Namun malapetaka ini ditimpakan oleh Dia yang tak dapat dipengaruhi oleh kekayaan dan kecantikan.” Setelah itu, merekapun meninggalkan tempat itu.
Terakhir kali Kaisar beserta perdana menterinya tampil, masuk ke dalam tenda dan berkata, “Wahai biji mata dan pelita hati ayahanda! Wahai buah hati ayahanda! Apakah yang dapat dilakkuan oleh ayahanda ini? Ayahanda telah mendatangkan sepasukan tentara yang perkasa, para filosof dan cerdik pandai, para pawang dan penasehat, dara-dara yang canitk jelita, harta benda dan segala sesuatu yang dapat ayahanda lakukan. Tapi malapetaka ini telah ditimpakan kepadamu oleh Dia yang tidak dapat dilawan oleh ayahanda beserta segala aparat, pasukan pengawal, harta benda dan barang-barang berharga ini. Semoga engkau mendapat kesejahteraan, selamat tinggal sampai tahun yang akan datang.” Kemudian kaisar pun pergi.
Cerita perdana menteri ini sangat menggugah hati Hasan. Ia tidak dapat melawan dorongan hatinya. Dengan segera ia bersiap-siap untuk kembali ke negerinya. Sesampainya di kota Basrah ia bersumpah tidak akan tertawa lagi di atas dunia ini sebelum mengetahui pasti bagiamana nasib yang dihadapinya nanti. Ia melakukan segala macam ibadah dan disiplin diri (guna mendekat kepada Allah) yang tak dapat ditandingin oleh siapapun pada masa hidupnya.
***
Hasan menjadi pandai dan mulia berawal dari mengingat kematian sang pangeran. Nabi bersabda, “Guru yang diam adalah kematian.” Merenungi kematian adalah sarana luar bisa untuk megeluarkan kita dari kebiasaan dan perilaku lama. Memikirkan kematian adalah sebuah latihan untuk menjadi lebih peka akan masa kini. Ia adalah jalan untuk memulai proses pertumbuhan diri. Yakni diri yang makin pandai memperbaiki diri hingga kemuliaan tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar