Mengingat
Kematian
“Orang-orang yang paling banyak mengingat
kematian dan mereka yang paling banyak mempersiapkan diri untuknya. Merekalah itulah
orang yang paling pandai, di mana mereka pergi dengan kehormatan dunia dan
kemuliaan akhirat.”
–Muhammad
saw.
Suatu ketika Hasan al-Bashri diajak oleh perdana Menteri Bizantium
ke sebuah padang pasir. Sesampainya di tempat tujuan, Hasan melihat sebuah
tenda yang terbuat dari brokat Bizantium, diikat dengan tali sutera dan
dipancang dengan tiang emas di atas tanah. Hasan berdiri di kejauhan. Tak
berapa lama kemudian, secara bergantian muncullah sepasukan tentara perkasa
dengan perlengkapan perang yang sempurna, para filosof dan cerdik pandai yang
hampir 400 orang, 300 orang tua yang arif bijaksana dan berjanggut putih, dan
lebih dari 200 gadis-gadis perawan cantik masing-masing mengusung nampan penuh
dengan emas, perak dan batu permata. Mereka lalu mengelilingi tenda itu, menggumamkan
beberapa patah kata kemudian pergi.
Hasan sangat heran menyaksikan kejadian-kejadian itu. Ketika
meninggalkan tempat itu Hasan bertanya kepada perdana menteri. Si menteri
menjawab bahwa dahulu Kaisar mempunyai seorang putra mahkota yang tampan,
menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan tak terkalahkan dalam arena
kegagahperkasaan. Kaisar dan hampir seluruh kerajaan sangat sayang pada
puteranya itu. Pada suatu hari tanpa terduga pangeran jatuh sakit. Semua tabib
paling pandai diperintahkan untuk mengobati tapi mereka tak mampu menyembuhkannya.
Akhirnya putera mahkota itu meninggal dunia dan dikuburkan di tenda tersebut.
Setiap tahun orang-orang berziarah ke kuburannya. Sepasukan tentara yang
mula-mula mengelilingi tenda tersebut berkata, “Wahai putera mahkota,
seandainya malapetaka yang menimpamu ini terjadi di medan pertempuran, kami
semua akan mengorbankan jiwa raga untuk menyelamatkanmu. Tetapi malapetaka yang
menimpamu ini datang dari Dia yang tak sanggup kami perangi dan tak dapat kami
tantang.” Setelah berucap seperti itu mereka berlalu dari tempat itu.
Kemudian tibalah giliran para filosof dan cerdik pandai. Mereka
berkata, “Malapetaka yang menimpamu ini datang dari Dia yang tidak dapat kami
lawan dengan ilmu pengetahuan, filsafat dan tipu muslihat. Karena semua filosof
di atas bumi ini tidak berdaya menghadapi-Nya dan semua cerdik pandai hanya
orang-orang dungu di hadapan-Nya. Jika tidak demikian halnya, kami telah
berusaha dengan mengajukan dalih-dalih yang tak dapat dibantah oleh siapapun di
alam semesta ini.” Setelah berucap demikian merekapun berlalu dari tempat
tersebut.
Berikutnya para orang tua yang mulia tampil seraya berkata, “Wahai
putera mahkota, seandainya malapetka yang menimpamu ini dapat dicegah oleh
campur tangan orang-orang tua, niscaya kami telah mencegahnya dengan doa-doa
kami yang rendah hati ini, dan pastilah kami tidak akan meninggalkan engkau
seorang diri di tempat ini. Tetapi malapetaka yang ditimpakan kepadamu datang
dari Dia yang sedikit pun tak dapat dicegah oleh campur tangan manusia-manusia
lemah.” Setelah kata-kata ini mereka ucapkan merekapun berlalu dari tempat itu.
Kemudian gadis-gadis cantik dengan nampan-nampan berisi emas dan
batu permata datang menghampiri, mengelilingi tenda itu dan berkata, “Wahai
putera Kaisar, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini bisa ditebus
dengan kekayaan dan kecantikan, niscaya kami merelakan diri dan harta kami yang
banyak ini untuk menebusmu dan tidak kami tinggalkan engkau di tempat ini.
Namun malapetaka ini ditimpakan oleh Dia yang tak dapat dipengaruhi oleh
kekayaan dan kecantikan.” Setelah itu, merekapun meninggalkan tempat itu.
Terakhir kali Kaisar beserta perdana menterinya tampil, masuk ke dalam
tenda dan berkata, “Wahai biji mata dan pelita hati ayahanda! Wahai buah hati
ayahanda! Apakah yang dapat dilakkuan oleh ayahanda ini? Ayahanda telah
mendatangkan sepasukan tentara yang perkasa, para filosof dan cerdik pandai,
para pawang dan penasehat, dara-dara yang canitk jelita, harta benda dan segala
sesuatu yang dapat ayahanda lakukan. Tapi malapetaka ini telah ditimpakan
kepadamu oleh Dia yang tidak dapat dilawan oleh ayahanda beserta segala aparat,
pasukan pengawal, harta benda dan barang-barang berharga ini. Semoga engkau
mendapat kesejahteraan, selamat tinggal sampai tahun yang akan datang.” Kemudian
kaisar pun pergi.
Cerita perdana menteri ini sangat menggugah hati Hasan. Ia tidak
dapat melawan dorongan hatinya. Dengan segera ia bersiap-siap untuk kembali ke
negerinya. Sesampainya di kota Basrah ia bersumpah tidak akan tertawa lagi di
atas dunia ini sebelum mengetahui pasti bagiamana nasib yang dihadapinya nanti.
Ia melakukan segala macam ibadah dan disiplin diri (guna mendekat kepada Allah)
yang tak dapat ditandingin oleh siapapun pada masa hidupnya.
***
Hasan menjadi pandai dan mulia berawal dari mengingat kematian sang
pangeran. Nabi bersabda, “Guru yang diam adalah kematian.” Merenungi
kematian adalah sarana luar bisa untuk megeluarkan kita dari kebiasaan dan
perilaku lama. Memikirkan kematian adalah sebuah latihan untuk menjadi lebih
peka akan masa kini. Ia adalah jalan untuk memulai proses pertumbuhan diri.
Yakni diri yang makin pandai memperbaiki diri hingga kemuliaan tercapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar