Kamis, 29 Maret 2012

Bijaksana


Bijaksana
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
 –QS. An-Nahl [19]: 90

Siang itu udara begitu panas dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib keluar dari rumahnya. Sa’at bin Qais yang sedang lewat bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Udara di luar amat sangat meneyangat kulit, mengapa Anda keluar dari rumah?” Beliau berkata, “Aku keluar untuk membantu orang yang teraniaya atau melindungi siapa saja yang remuk hatinya.”
Beberapa saat kemudian, seorang wanita dalam keadaan takut datang berdiri di hadapan Imam seraya berakata, “Wahai Amirul Mukminin! Suamiku sering kali menganiayaku.” Demi mendengar pengaduan wanita itu, beliau berpikir sejenak dan berkata, “Tidak! Demi Tuhan! Orang yang teraniaya haur aku tolong dan dibela haknya.” Sesaat beliau memperhatikan wanita itu dan kemudian bertanya kepadanya, “Di mana rumahmu?”
Wanita itu membawa Ali ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Ali a.s. beridiri di depan pintu rumah dan memberi salam denang suara keras. Seorang pemuda berpakaian berwarna-warni keluar dari dalam rumah.
Imam Ali langsung menegurnya: “Takutlah kepada Allah! Engkau telah membuat takut isterimu dan mengusirnya dari rumah!” Pemuda itu, dengan biasab, menjawab, “Aku peringatkan agar engkau tidak usah mencampuri urusan keluarga orang lain. Urusilah keluargamu sendiri! Demi Tuhan! Aku akan membakarnya karena ucapanmu ini,” lanjut pemuda itu emosional.
Emosi Ali menggelegak mendengar jawaban pemuda yang tidak mau mendengar nasihat itu. Beliau mengeluarkan pedangnya dari sarung seraya berkata, “Aku melakukan amar ma’ruf nahyi munkar (memerintahkan kebajian dan mencegah kemunkaran), menyamapikan perintah Tuhan kepdamu, mengapa engkau tidak mau tunduk, bertaubatlah atau engkau aku bunu!”
Di saat perdebatan seru antara pemuda dengan Imam Ali a.s. sedang berlangsung, beberapa orang yang kebetulan melewati tempat itu menyapa Ali a.s. dengan panggilan Amirul Mukminin dan memohon beliau agar mengampuni pemuda itu. Pemuda yang sampai saat itu belum mengenal identitas Ali, baru sadar bahwa orang yang di hadpannya bukanlah orang sembarangan, melainkan pemimpin muslimin. Dia telah bersikap biadab pada Amirul Mukminin.
Dengan perasaan malu, ia mencium tangan Imam Ali sambil memohon maaf, “Wahai Imam, maafkanlah kesalahanku! Aku berjanji untuk mentaati perintahmu dan mulai saat ini aku akan bersikap lemah lembut dan rendah hati terhadap isteriku. Imam memasukkan pedangnya ke dalam sarung dan memaafkan kesalahan pemuda itu. Selanjutnya beliau menasihati isteri pemuda itu agar pandai-pandai bersikap sehingga suaminya tidak menjadi sebengis itu.
***
Kisah di atas menggambarkan sikap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang bijaksana. Sebagai Amirul Mukmin ia berusaha untuk menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar hanya karena Allah semata. Bukan untuk pamer atau memanfaat kekuasaannya sebagai pemimpin.
Sikap kebijaksanaan yang diambil oleh Imam Ali itu sebenarnya ia telah menaladani sifat Allah Yang Maha Bijaksana. Cara memahaminya, tidak bisa diambil satu persatu untuk kepentingan atau selera pribadi saja, dengan mengabaikan sifat-sifat yang lain. Tidak pula hanya dipahami melalui otak atau saran logis, tetapi harus melalui pencernaan hati yang suci bersih.
Pada hakikatnya segala keputusan yang akan Anda ambil, jika dilandasi oleh dank arena Allah, Anda akan menemukan sebuah kebijaksaan mulia dengan penuh percaya diri. Keterbukaan berpikir, yang meurpakan hal esensial dalam pengamblan keputusan. Sebuah proses dinamis di mana kita menambil atau memilih di antara berabgam alternatif. Keterbukaan dalam berpikir di mana di dalamnya terdapat proses memilah dan memilih, sebuah cerminan sifat bijaksana yang terpancar dari spektrum iman.
Saya akan mencoba memberikan gambaran sikap Ali yang berusaha untuk bersikap bijaksana di atas adalah pertama, adanya dorongan ingin berkuasa, tidak bisa berdiri sendiri, ia harus juga suci dan bersikap rahman dan rahim serta adil. Kedua, adanya dorongan ingin bersikap kasih, juga tidak bisa berdiri sendiri, ia harus juga tegas, dan membela kebenaran.
Anda akan semakin mudah masuk dan menyelami hati sanubari orang lain, dengan mengetahui tangisan dan apa impian orang lain. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 58).
Pertanyaan: sudahkan pemimpin kita sekarang memimpin dengan sebijaksana Ali?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar