Kamis, 29 Maret 2012



Motto Manusia Pembelajar:

"Tuntutlah ilmu dimulai dari buaian sampai ke liang lahat!"

-Muhammad Rasulullah Saw.

Sang Pembelajar 

(ganteng nggak?!?)

"Ssesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik (dibandingkan dengan makhluk lainnya yang Kami ciptakan -pen.)."

-QS. At-Tin [95]: 4




Rasa Aman

Rasa Aman

…Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”
–QS. Al-Hajj [22]: 31
Saat ini dunia usaha di Indonesia sedang mengahadapi badai yang luas biasa dahsyat, tingkat inflasi yagn tinggi, nilai rupiah yang tidak menentu, daya beli masyarakat yang merosot tajam, harga-hargaamenjlang tinggi, dan tidak adanya kepastian hukum. Semua itu adalah pukulan yang asngat mematikan bagi dunia usaha. Banyak perusahaan yang gulung tikar atau mati suri. Korban PHK ada di mana-mana. Sebagian besar korban merasa putus asa dan banyak yang melarikan diri ke narkotik.
Bahkan sungguh mengerikan lagi, saya pernah baca di harian Kompas, diceritakan ada sebuah keluarga di Amerika beserta istri dan anaknya. Kedua orang tua ini sama-sama sebagai karyawan di suatu perusahaan. Ketika Amerika mengalami krisis keuangan yang sangat dahsyat, perusahaan tempat mereka bekerja itu mengalami krisis keuangan. Akhirnya perusahaan itu mengambil keputusan dengan melakuan PHK secara besar-besaran. Dan kedua suami istri ini pun ikut terkena PHK. Ketika dalam kondisi demikian, tidak punya kerjaan dan menganggur, kedua suami istri ini mengalami stress berat. Mereka merasa bingung untuk menghidupi kebutuhan keluarga mereka, yang barangkali hanya satu-satunya kerja di perusahaanlah yang bisa mengatasinya. Ketika mereka di PHK, dalam benak mereka berarti kebutuhan hidup mereka sudah hancur. Entah bagaimana ceritanya, akhirnya jalan pintas yang mereka lakukan ternyata suaminya itu membunuh istrinya, kemudian anaknya, setelah itu ia pun membunuh dirinya sendiri dengan pistol yang digenggamnya.
Barangkali, itulah gambaran jika orang berprinsip pada yang kurang tepat. Ketika ada cobaan yang menimpanya, ia seolah-olah gagal total dan hidupnya akan hancur. Hidupnya tidak aman. Hanya sebagian kecil yang mampu bangkit kembali, atau minimal bertahan. Usaha atau prestasi mereka memang hancur, namun prinsip mereka tetap kokoh, dan rasa tenteram tetap mereka miliki. Mereka mampu melihat dirinya sebagai suatu subyek dan mereka mampu untuk keluar dari problema diri sendiri.
***
Berprinsip pada sesuatu yang abadi adalah jawaban semua permasalahan di atas. Konsep ini didukung oleh Stephen R. Covey: Rasa aman kita berasal dari pengetahuan bahwa, prinsip itu berbeda dengan pusat-pusat lain yang didasari pada orang atau sesuatu yang selalu dan seketika berubah, prinsip yang benar tidakalah berubah. Kita dapat memegang prinsip tersebut. Prinsip tidak bereaksi terhadap apa pun. Prinsip itu kekal. Tidak peduli apa pun yang terjadi, tidak akan goyah meskipun kehilangan jabatan, harta, orang yang disayangi, kawan, ataupun penghargaan sekalipun.
Setelah Prince Naseem Hamed petinju besar itu, dikalahkan secara mutlak oleh Antonio Barera, kemudian ia diwawancarai oleh seorang komentator TVKO, “Anda adalah petinju yang terbesar, apa pendapat Anda tentang kekalahan ini?” Spontan dijawab oleh Hamed, “The Greatest (yang terbesar) itu hanyalah Allah, bukan saya. Saya senang bisa menjalani pertarungan 12 ronde ini dengan selamat. Muhammad Ali pernah dikalahkan oleh Joe Frazier namun ia bisa bangkit dan membalas kekalahannya.” (siaran langsung pertandingan tinju Naseem Hamed vs Antonio Barera, SCTV, 18 April 2001). Kisah pertandingan tragis ini bisa mengajarkan makna besar di balik kekalahanan Naseem. Yaitu kekuatan mental tauhid yang dimilikinya, jauh lebih berperan dibandingkan kekuatan fisiknya. Rasa aman abadi yang ada di dasar hati, yaitu Lâ ilâha illâllâh.
Orang yang berprinsip pada Allah sehingga hatinya merasa aman, “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Sungguh kita adalah milik Allah, dan kepada-Nya kita kembali." (QS. Al-Baqarah [2]: 156).

Mengingat Kematian


Mengingat Kematian

 “Orang-orang yang paling banyak mengingat kematian dan mereka yang paling banyak mempersiapkan diri untuknya. Merekalah itulah orang yang paling pandai, di mana mereka pergi dengan kehormatan dunia dan kemuliaan akhirat.
–Muhammad saw.
Suatu ketika Hasan al-Bashri diajak oleh perdana Menteri Bizantium ke sebuah padang pasir. Sesampainya di tempat tujuan, Hasan melihat sebuah tenda yang terbuat dari brokat Bizantium, diikat dengan tali sutera dan dipancang dengan tiang emas di atas tanah. Hasan berdiri di kejauhan. Tak berapa lama kemudian, secara bergantian muncullah sepasukan tentara perkasa dengan perlengkapan perang yang sempurna, para filosof dan cerdik pandai yang hampir 400 orang, 300 orang tua yang arif bijaksana dan berjanggut putih, dan lebih dari 200 gadis-gadis perawan cantik masing-masing mengusung nampan penuh dengan emas, perak dan batu permata. Mereka lalu mengelilingi tenda itu, menggumamkan beberapa patah kata kemudian pergi.
Hasan sangat heran menyaksikan kejadian-kejadian itu. Ketika meninggalkan tempat itu Hasan bertanya kepada perdana menteri. Si menteri menjawab bahwa dahulu Kaisar mempunyai seorang putra mahkota yang tampan, menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dan tak terkalahkan dalam arena kegagahperkasaan. Kaisar dan hampir seluruh kerajaan sangat sayang pada puteranya itu. Pada suatu hari tanpa terduga pangeran jatuh sakit. Semua tabib paling pandai diperintahkan untuk mengobati tapi mereka tak mampu menyembuhkannya. Akhirnya putera mahkota itu meninggal dunia dan dikuburkan di tenda tersebut. Setiap tahun orang-orang berziarah ke kuburannya. Sepasukan tentara yang mula-mula mengelilingi tenda tersebut berkata, “Wahai putera mahkota, seandainya malapetaka yang menimpamu ini terjadi di medan pertempuran, kami semua akan mengorbankan jiwa raga untuk menyelamatkanmu. Tetapi malapetaka yang menimpamu ini datang dari Dia yang tak sanggup kami perangi dan tak dapat kami tantang.” Setelah berucap seperti itu mereka berlalu dari tempat itu.
Kemudian tibalah giliran para filosof dan cerdik pandai. Mereka berkata, “Malapetaka yang menimpamu ini datang dari Dia yang tidak dapat kami lawan dengan ilmu pengetahuan, filsafat dan tipu muslihat. Karena semua filosof di atas bumi ini tidak berdaya menghadapi-Nya dan semua cerdik pandai hanya orang-orang dungu di hadapan-Nya. Jika tidak demikian halnya, kami telah berusaha dengan mengajukan dalih-dalih yang tak dapat dibantah oleh siapapun di alam semesta ini.” Setelah berucap demikian merekapun berlalu dari tempat tersebut.
Berikutnya para orang tua yang mulia tampil seraya berkata, “Wahai putera mahkota, seandainya malapetka yang menimpamu ini dapat dicegah oleh campur tangan orang-orang tua, niscaya kami telah mencegahnya dengan doa-doa kami yang rendah hati ini, dan pastilah kami tidak akan meninggalkan engkau seorang diri di tempat ini. Tetapi malapetaka yang ditimpakan kepadamu datang dari Dia yang sedikit pun tak dapat dicegah oleh campur tangan manusia-manusia lemah.” Setelah kata-kata ini mereka ucapkan merekapun berlalu dari tempat itu.
Kemudian gadis-gadis cantik dengan nampan-nampan berisi emas dan batu permata datang menghampiri, mengelilingi tenda itu dan berkata, “Wahai putera Kaisar, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini bisa ditebus dengan kekayaan dan kecantikan, niscaya kami merelakan diri dan harta kami yang banyak ini untuk menebusmu dan tidak kami tinggalkan engkau di tempat ini. Namun malapetaka ini ditimpakan oleh Dia yang tak dapat dipengaruhi oleh kekayaan dan kecantikan.” Setelah itu, merekapun meninggalkan tempat itu.
Terakhir kali Kaisar beserta perdana menterinya tampil, masuk ke dalam tenda dan berkata, “Wahai biji mata dan pelita hati ayahanda! Wahai buah hati ayahanda! Apakah yang dapat dilakkuan oleh ayahanda ini? Ayahanda telah mendatangkan sepasukan tentara yang perkasa, para filosof dan cerdik pandai, para pawang dan penasehat, dara-dara yang canitk jelita, harta benda dan segala sesuatu yang dapat ayahanda lakukan. Tapi malapetaka ini telah ditimpakan kepadamu oleh Dia yang tidak dapat dilawan oleh ayahanda beserta segala aparat, pasukan pengawal, harta benda dan barang-barang berharga ini. Semoga engkau mendapat kesejahteraan, selamat tinggal sampai tahun yang akan datang.” Kemudian kaisar pun pergi.
Cerita perdana menteri ini sangat menggugah hati Hasan. Ia tidak dapat melawan dorongan hatinya. Dengan segera ia bersiap-siap untuk kembali ke negerinya. Sesampainya di kota Basrah ia bersumpah tidak akan tertawa lagi di atas dunia ini sebelum mengetahui pasti bagiamana nasib yang dihadapinya nanti. Ia melakukan segala macam ibadah dan disiplin diri (guna mendekat kepada Allah) yang tak dapat ditandingin oleh siapapun pada masa hidupnya.
***
Hasan menjadi pandai dan mulia berawal dari mengingat kematian sang pangeran. Nabi bersabda, “Guru yang diam adalah kematian.” Merenungi kematian adalah sarana luar bisa untuk megeluarkan kita dari kebiasaan dan perilaku lama. Memikirkan kematian adalah sebuah latihan untuk menjadi lebih peka akan masa kini. Ia adalah jalan untuk memulai proses pertumbuhan diri. Yakni diri yang makin pandai memperbaiki diri hingga kemuliaan tercapai.

Bijaksana


Bijaksana
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
 –QS. An-Nahl [19]: 90

Siang itu udara begitu panas dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib keluar dari rumahnya. Sa’at bin Qais yang sedang lewat bertanya, “Wahai Amirul Mukminin! Udara di luar amat sangat meneyangat kulit, mengapa Anda keluar dari rumah?” Beliau berkata, “Aku keluar untuk membantu orang yang teraniaya atau melindungi siapa saja yang remuk hatinya.”
Beberapa saat kemudian, seorang wanita dalam keadaan takut datang berdiri di hadapan Imam seraya berakata, “Wahai Amirul Mukminin! Suamiku sering kali menganiayaku.” Demi mendengar pengaduan wanita itu, beliau berpikir sejenak dan berkata, “Tidak! Demi Tuhan! Orang yang teraniaya haur aku tolong dan dibela haknya.” Sesaat beliau memperhatikan wanita itu dan kemudian bertanya kepadanya, “Di mana rumahmu?”
Wanita itu membawa Ali ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Ali a.s. beridiri di depan pintu rumah dan memberi salam denang suara keras. Seorang pemuda berpakaian berwarna-warni keluar dari dalam rumah.
Imam Ali langsung menegurnya: “Takutlah kepada Allah! Engkau telah membuat takut isterimu dan mengusirnya dari rumah!” Pemuda itu, dengan biasab, menjawab, “Aku peringatkan agar engkau tidak usah mencampuri urusan keluarga orang lain. Urusilah keluargamu sendiri! Demi Tuhan! Aku akan membakarnya karena ucapanmu ini,” lanjut pemuda itu emosional.
Emosi Ali menggelegak mendengar jawaban pemuda yang tidak mau mendengar nasihat itu. Beliau mengeluarkan pedangnya dari sarung seraya berkata, “Aku melakukan amar ma’ruf nahyi munkar (memerintahkan kebajian dan mencegah kemunkaran), menyamapikan perintah Tuhan kepdamu, mengapa engkau tidak mau tunduk, bertaubatlah atau engkau aku bunu!”
Di saat perdebatan seru antara pemuda dengan Imam Ali a.s. sedang berlangsung, beberapa orang yang kebetulan melewati tempat itu menyapa Ali a.s. dengan panggilan Amirul Mukminin dan memohon beliau agar mengampuni pemuda itu. Pemuda yang sampai saat itu belum mengenal identitas Ali, baru sadar bahwa orang yang di hadpannya bukanlah orang sembarangan, melainkan pemimpin muslimin. Dia telah bersikap biadab pada Amirul Mukminin.
Dengan perasaan malu, ia mencium tangan Imam Ali sambil memohon maaf, “Wahai Imam, maafkanlah kesalahanku! Aku berjanji untuk mentaati perintahmu dan mulai saat ini aku akan bersikap lemah lembut dan rendah hati terhadap isteriku. Imam memasukkan pedangnya ke dalam sarung dan memaafkan kesalahan pemuda itu. Selanjutnya beliau menasihati isteri pemuda itu agar pandai-pandai bersikap sehingga suaminya tidak menjadi sebengis itu.
***
Kisah di atas menggambarkan sikap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib yang bijaksana. Sebagai Amirul Mukmin ia berusaha untuk menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar hanya karena Allah semata. Bukan untuk pamer atau memanfaat kekuasaannya sebagai pemimpin.
Sikap kebijaksanaan yang diambil oleh Imam Ali itu sebenarnya ia telah menaladani sifat Allah Yang Maha Bijaksana. Cara memahaminya, tidak bisa diambil satu persatu untuk kepentingan atau selera pribadi saja, dengan mengabaikan sifat-sifat yang lain. Tidak pula hanya dipahami melalui otak atau saran logis, tetapi harus melalui pencernaan hati yang suci bersih.
Pada hakikatnya segala keputusan yang akan Anda ambil, jika dilandasi oleh dank arena Allah, Anda akan menemukan sebuah kebijaksaan mulia dengan penuh percaya diri. Keterbukaan berpikir, yang meurpakan hal esensial dalam pengamblan keputusan. Sebuah proses dinamis di mana kita menambil atau memilih di antara berabgam alternatif. Keterbukaan dalam berpikir di mana di dalamnya terdapat proses memilah dan memilih, sebuah cerminan sifat bijaksana yang terpancar dari spektrum iman.
Saya akan mencoba memberikan gambaran sikap Ali yang berusaha untuk bersikap bijaksana di atas adalah pertama, adanya dorongan ingin berkuasa, tidak bisa berdiri sendiri, ia harus juga suci dan bersikap rahman dan rahim serta adil. Kedua, adanya dorongan ingin bersikap kasih, juga tidak bisa berdiri sendiri, ia harus juga tegas, dan membela kebenaran.
Anda akan semakin mudah masuk dan menyelami hati sanubari orang lain, dengan mengetahui tangisan dan apa impian orang lain. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 58).
Pertanyaan: sudahkan pemimpin kita sekarang memimpin dengan sebijaksana Ali?

Pulang Kampung

Pulang Kampung

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.”
–QS. Al-Bayyinah [98]: 7-8

Mudik! Pulang kampung. Adalah tradisi masyarakat kita yang biasa terjadi setahun sekali ketika menjelang lebaran Idul Fitri. Mudik adalah fenomena yang unik sekaligus dapat menghibur bagi yang menjalaninya. Biasanya, ketika mau pulang kampung kita mempersiapkan bekal berupa oleh-oleh atau yang lainnya untuk keluarga di kampung. Bersyukur bagi yang pulang kampung dengan selamat hingga ke kampung dan berkumpul bersama keluarga. Tapi terkadang ada juga yang tidak sampai tujuan karena mendapatkan kecelakaan, bahkan ada yang tewas di tengah perjalanan. Itulah perjalanan saat kita pulang ke kampung dunia. Pertanyaannya, sudahkah kita mempersiapkan diri kita saat pulang ke kampung abadi kita, akhirat?
Terkadang, kita sibuk untuk siap-siap pulang ke kampung dunia dengan gembira. Anehnya, tidak sedikit yang terlena bahkan ada yang sampai melupakan diri mempersiapkan untuk pulang ke kampung akhirat. Bukankah kampung dunia sebenarnya hanya sementara, sedangkan kampung akhirat abadi? Kalau kita pulang ke kampung dunia kita hanya bisa berkumpul dengan keluarga, sedangkan kalau kita pulang ke kampung abadi, akherat berkumpul dan bertemu Allah. Tapi kenapa justru manusia kebanyakan lebih memilih asyik dengan kehidupan kampung dunia, memilih merugi di dunia, menjerumuskan diri dengan memperturutkan hawa nafsunya, dibandingkan dengan kehidupan akherat yang sangat indah tiada tara? Jangan sampai kita terlena dan tergoda oleh kampung fana ini dengan hanya memperturutkan hawa nafsu sehingga di kampung abadi nanti kita akhirnya mendapat celaka, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang kafir, “Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah". (QS. An-Naba’ [78]: 40).
Beruntunglah bagi orang-orang yang tidak lupa kepada kampung abadinya, akhirat sekaligus sebagai karakter hidupnya, seperti yang dialami oleh budaknya Amir rah.a.
Abu Amir rah.a. berkata, "Saya melihat seorang budak wanita sedang dijual dengan harga murah. Begitu kurusnya budak itu, sehngga perut dan punggungnya hampir bersentuhan, rambutnya pun kotor. Saya merasa kasihan lalu membeli budak itu. Saya berkata pada budak itu, "Mari kita pergi ke pasar untuk membeli keperluan bulan Ramadhan." Budak ini menjawab, "Alhamdulillah, semua bulan sama saja bagi saya." Ternyata, budak ini berpuasa setiap hari dan shalat sepanjang malam. Ketika Hari Raya hampir tiba, saya berkata, "Besok, ikutlah bersama saya untuk membeli keperluan hari raya." Wanita itu menjawab, "Tuanku, Tuan terlalu mencintai dunia ini." Setelah itu dia masuk ke kamarnya untuk mengerjakan shalat. Ia membaca ayat di bawah ini:
Wa min warââ-ihî jahannamu wa yusqâ min mââ-in shadîdin

"Di belakangnya ada jahannam, dan dia diberi minum dengan air nanah." (Q.S. Ibrahim [4]: 16)
Berkali-kali dia membaca ayat di atas, lalu menjerit, terjatuh dan meninggal dunia.
***
Berungtunglah budak wanita itu. Sungguh, ia telah menjadikan Allah sebagai tujuan pulang kampung sejatinya. Ia telah menjadikan Allah sebagai tujuan sekaligus karakter hidupnya. Orang yang sudah menjadikan pulang ke kampung abadi, akhirat untuk bertemu Allah sebagai karakter hidupnya, berarti ia sudah mengetahui tujuan hidupnya. Orang yang sudah tahu tujuan hidupnya, ia akan menjaga perilakunya hanya untuk yang baik-baik, bahkan ia berusaha menjadi hamba-Nya yang terbaik. Ia sudah tahu apa yang harus diperbuat dalam hidupnya. Hidupnya penuh dengan penuh optimis menatap masa depan. Kedamaian dan kebahagiaan selalu bersamanya. Allah swt. berfirman, Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan. Maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) niscaya dia mengambil jalan kepada Tuhannya. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan memasukkan siapa yang dikehendakinya ke dalam rahmat-Nya (surga)…” (QS. Al-Insân [76]: 29-31).
Semoga kita bisa pulang ke kampung abadi dengan selamat! Amin!

Menyadari Kehadiran Tuhan


Menyadari Kehadiran Tuhan
Kamu menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihat-Nya, danjika kamu tidak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
–Muhammad saw.
Penglihatan dari hati lebih dalam digambarkan dalam kisah berikut:
Syekh Junayd memiliki seorang darwis muda yang angat ia cintai. Darwis Junayd lainnya, yang lebih tua, menjadi iri. Suatu hari, Junayd menyuruh para darwis untuk membeli seekor ayam. Masing-masing disuruh menyebelih ayam itu di tempat yang tak seorang pun dapat melihatnya. Apa pun yang mereka lakukan, mereka harus kembali paling lambat pada saat matahari terbenam.
Satu persatu para darwis kembali menghadap Junayd, masing-masing membawa ayam yang telah mereka sembelih. Terakhir, darwis muda itu kembali dengan membawa seekor ayam yang masih hidup. Para darwis tua tertawa dan saling berbisik-bisik di antara mereka, bahwa si darwis muda akhirya menunjukkan betpa bodohnya ia. Ia bahkan tidak dapt menjalankan perintah syekhnya.
Junayd menanyakan masing-masing darwisnya, bagaimana mereka telah menjalankan perintahnya. Darwis yang kembali pertama kali mengatakan bahwa ia membawa ayam tersebut ke rumahnya, mengunci pintu, lalu menyembelih ayam tersebut. Darwis kedua mengatakan bahwa ia membawa ayam tersebut ke rumahnya, mengunci pintu, menutup tirai, kemudian masuk ke daslam lemari tertutup, lalu menyembelihnya. Darwis ketika juga membawa ayam tersebut ke daslam lemari tertutup, namun ia menutup matanya dengan kain, sehingga ia sendiri bahwakan tidak dapt melihat proses penyembelihan tersebut. Darwis lainnya pergi ke daerah gelap, yang terpencil di dalam hutan, untuk menyembelih ayamnya. Darwis terakhir pergi ke sebuah gua yang gelap gulita.
Akhirnya, sampilah pada giliran si darwis muda. Ia menundukkan kepalanya dengan malu. Ayamnya masih berkotek di dalam pelukanya. Dengan lirih ia berkata, “Aku telah membawa ayam ini ke daslam rumah, tapi Tuhan berada di segala sisi rumah itu. Aku pergi ke tempat paling terpencil di hutan, tetapi Tuhan tetap ikkut bersamaku. Bahkan, di gua gelap sekalipun, Tuhan berada di sana. Tidak ada satu tempat pun di mana Tuhan tidak dapat melihatku.” Darwis muda tersebut memiliki ihsan. Darwis lainnya pun kemudina mengetahui mengapa syekh mereka mencintainya.
***
Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi, “Ya Muhammad, apakah ihsân itu?” Beliau menjawab, “Kamu menyembah Tuhan seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Orang-orang beriman melihat Tuhan mereka dengan mata hatinya. Atau, mereka meyakini di dalam hati bahwa Tuhan melihat mereka. Jika mengetahui bahwa kita selalu berada di bawah pengawasan Tuhan, jika kita benar-benar merasakan kehadiran-Nya, maka tidakkah kehidupan kita akan menjadi berbeda?
Penglihatan hati-lebih-dalam adalah penglihatan yang sejati. “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.”
Kearifan sejati datang dari pengatahuan batiniah yang dipadukan dengan penglihatan batin.