Bijaksana
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.”
–QS. An-Nahl [19]: 90
Siang itu udara begitu panas dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
keluar dari rumahnya. Sa’at bin Qais yang sedang lewat bertanya, “Wahai Amirul
Mukminin! Udara di luar amat sangat meneyangat kulit, mengapa Anda keluar dari
rumah?” Beliau berkata, “Aku keluar untuk membantu orang yang teraniaya atau
melindungi siapa saja yang remuk hatinya.”
Beberapa saat kemudian, seorang wanita dalam keadaan takut datang
berdiri di hadapan Imam seraya berakata, “Wahai Amirul Mukminin! Suamiku sering
kali menganiayaku.” Demi mendengar pengaduan wanita itu, beliau berpikir
sejenak dan berkata, “Tidak! Demi Tuhan! Orang yang teraniaya haur aku tolong
dan dibela haknya.” Sesaat beliau memperhatikan wanita itu dan kemudian
bertanya kepadanya, “Di mana rumahmu?”
Wanita itu membawa Ali ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Ali a.s.
beridiri di depan pintu rumah dan memberi salam denang suara keras. Seorang
pemuda berpakaian berwarna-warni keluar dari dalam rumah.
Imam Ali langsung menegurnya: “Takutlah kepada Allah! Engkau telah
membuat takut isterimu dan mengusirnya dari rumah!” Pemuda itu, dengan biasab,
menjawab, “Aku peringatkan agar engkau tidak usah mencampuri urusan keluarga
orang lain. Urusilah keluargamu sendiri! Demi Tuhan! Aku akan membakarnya
karena ucapanmu ini,” lanjut pemuda itu emosional.
Emosi Ali menggelegak mendengar jawaban pemuda yang tidak mau
mendengar nasihat itu. Beliau mengeluarkan pedangnya dari sarung seraya
berkata, “Aku melakukan amar ma’ruf nahyi munkar (memerintahkan kebajian dan
mencegah kemunkaran), menyamapikan perintah Tuhan kepdamu, mengapa engkau tidak
mau tunduk, bertaubatlah atau engkau aku bunu!”
Di saat perdebatan seru antara pemuda dengan Imam Ali a.s. sedang
berlangsung, beberapa orang yang kebetulan melewati tempat itu menyapa Ali a.s.
dengan panggilan Amirul Mukminin dan memohon beliau agar mengampuni pemuda itu.
Pemuda yang sampai saat itu belum mengenal identitas Ali, baru sadar bahwa
orang yang di hadpannya bukanlah orang sembarangan, melainkan pemimpin
muslimin. Dia telah bersikap biadab pada Amirul Mukminin.
Dengan perasaan malu, ia mencium tangan Imam Ali sambil memohon
maaf, “Wahai Imam, maafkanlah kesalahanku! Aku berjanji untuk mentaati
perintahmu dan mulai saat ini aku akan bersikap lemah lembut dan rendah hati
terhadap isteriku. Imam memasukkan pedangnya ke dalam sarung dan memaafkan
kesalahan pemuda itu. Selanjutnya beliau menasihati isteri pemuda itu agar
pandai-pandai bersikap sehingga suaminya tidak menjadi sebengis itu.
***
Kisah di atas menggambarkan sikap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib
yang bijaksana. Sebagai Amirul Mukmin ia berusaha untuk menegakkan amar ma’ruf
nahyi munkar hanya karena Allah semata. Bukan untuk pamer atau memanfaat
kekuasaannya sebagai pemimpin.
Sikap kebijaksanaan yang diambil oleh Imam Ali itu sebenarnya ia
telah menaladani sifat Allah Yang Maha Bijaksana. Cara memahaminya, tidak bisa
diambil satu persatu untuk kepentingan atau selera pribadi saja, dengan
mengabaikan sifat-sifat yang lain. Tidak pula hanya dipahami melalui otak atau
saran logis, tetapi harus melalui pencernaan hati yang suci bersih.
Pada hakikatnya segala keputusan yang akan Anda ambil, jika
dilandasi oleh dank arena Allah, Anda akan menemukan sebuah kebijaksaan mulia
dengan penuh percaya diri. Keterbukaan berpikir, yang meurpakan hal esensial
dalam pengamblan keputusan. Sebuah proses dinamis di mana kita menambil atau
memilih di antara berabgam alternatif. Keterbukaan dalam berpikir di mana di
dalamnya terdapat proses memilah dan memilih, sebuah cerminan sifat bijaksana
yang terpancar dari spektrum iman.
Saya akan mencoba memberikan gambaran sikap Ali yang berusaha untuk
bersikap bijaksana di atas adalah pertama, adanya dorongan ingin
berkuasa, tidak bisa berdiri sendiri, ia harus juga suci dan bersikap rahman
dan rahim serta adil. Kedua, adanya dorongan ingin bersikap kasih, juga
tidak bisa berdiri sendiri, ia harus juga tegas, dan membela kebenaran.
Anda akan semakin mudah masuk dan menyelami hati sanubari orang
lain, dengan mengetahui tangisan dan apa impian orang lain. “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 58).
Pertanyaan: sudahkan pemimpin kita sekarang memimpin dengan
sebijaksana Ali?